Kamis, 23 Januari 2014

TUGAS PKN OTONOMI KHUSUS PAPUA

BAB I
PENDAHULUAN

A.    LATAR BELAKANG
                        Tahun 1999, Pemerintah menerbitkan Undang-Undang Nomor 22   Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah, yang memberikan kewenangan yang luas kepada daerah untuk mengatur dan mengurus urusan rumah tangga sendiri, namun dalam perjalanannya undang-undang tersebut  dianggap belum mampu mengakomodasikan kekhasan budaya dan adat  istiadat masyarakat Papua baik dalam pengelolaan pemerintahan maupun pembangunan di wilayah Papua. Akhirnya pada Tahun 2001 Pemerintah Pusat mengeluarkan kebijakan Otonomi Khusus di Provinsi Papua dengan diterbitkannya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi  Khusus Bagi Provinsi Papua.
                        Kebijakan Otonomi Khusus Papua pada dasarnya merupakan pemberian kewenangan yang lebih luas bagi Pemerintah Daerah Provinsi dan rakyat Papua untuk mengatur dan mengurus diri sendiri di dalam kerangka Negara Kesatuan  Republik Indonesia (NKRI). Kewenangan yang berarti peran dan tanggung jawab yang lebih besar dalam mengatur urusan rumah tangganya, menyelenggarakan pemerintahan dan mengatur pemanfaatan kekayaan alam di Papua bagi kemakmuran rakyat Papua, diharapkan dengan kebijakan ini akan dapat mengurangi kesenjangan di Provinsi Papua dan Papua Barat dengan provinsi-provinsi lainnya dengan memberikan ruang lebih bagi masyarakat lokal Papua dan Papua Barat           sebagai subyek utama dalam pembangunan.
                        Keputusan politik penyatuan Papua (semula disebut Irian Barat kemudian berganti menjadi Irian Jaya) menjadi bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia pada hakikatnya mengandung cita-cita luhur. Namun kenyataannya berbagai kebijakan dalam penyelenggaraan    pemerintahan dan pembangunan yang sentralistik belum memenuhi rasa keadilan, belum sepenuhnya mendukung terwujudnya penegakan hukum, dan belum sepenuhnya menampakkan penghormatan terhadap Hak Asasi Manusia (HAM) di Provinsi Papua, khususnya masyarakat Papua. Kondisi tersebut mengakibatkan terjadinya kesenjangan hampir pada semua sektor kehidupan, terutama dalam bidang pendidikan, kesehatan, ekonomi, kebudayaan dan sosial politik. Pelanggaran HAM, pengabaian hak-hak dasar penduduk asli dan adanya perbedaan pendapat mengenai sejarah penyatuan Papua ke dalam Negara Republik Indonesia adalah masalah-masalah yang perlu diselesaikan. Upaya penyelesaian masalah tersebutselama ini dinilai kurang menyentuh akar masalah dan aspirasi masyarakatPapua, sehingga memicu berbagai bentuk kekecewaan dan ketidakpuasan.

B.     RUMUSAN MASALAH
            Adapun perumusan masalah yang dapat kami ambil :
1.      Apa yang menjadi latar belakang pemberian otonomi khusus papua ?
2.      Apa yang menjadi landasan otonomi khusus papua ?
3.      Bagaimana pelaksanaan otonomi khusus papua ?
4.      Bagaimana analisa dari otonomi khusus papua ?

C.    TUJUAN
                        Secara umum, tujuan dari makalah ini adalah menjawab beberapa hal yang menjadi  pokok pembahasan kami :
1.  Mengetahui apa saja masalah-masalah pada level kebijakan yang perlu mendapat perhatian, sebagai bahan pertimbangan perbaikan ke depan.
2.     Mengetahui bagaimana implementasi kebijakan otonomi khusus Papua dan Papua Barat terkait pengaturan dan pelaksanaan pengelolaan keuangan, kewenangan-kewenangan khusus, lembaga khusus dan kekhususan lainnya.
3.      Mengidentifikasi masalah-masalah kebijakan dan implementasi kebijakan otonomi khusus Papua dan Papua Barat, khususnya terkait pengelolaan keuangan dan pelaksanaan kewenangan khusus.
4.      Mengembangkan strategi perbaikan untuk memperkuat operasional kebijakan dan implementasi kebijakan otonomi khusus Papua dan Papua Barat.




























BAB II
PEMBAHASAN

A.    PENGERTIAN OTONOMI KHUSUS PAPUA
                        Istilah “ otonomi “ dalam Otonomi Khusus Papua diartikan sebagai kebebasan bagi rakyat Papua untuk mengatur dan mengurus diri sendiri, sekaligus pula berarti kebebasan untuk berpemerintahan sendiri dan mengatur pemanfaatan kekayaan alam Papua untuk kemakmuran rakyat Papua dengan tidak meninggalkan tanggung jawab untuk ikut serta mendukung penyelenggaraan pemerintahan pusat dan daerah-daerah lain di Indonesia yang memang kekurangan. Hal lain tidak kalah penting adalah kebebasan untuk menentukan strategis pembangunan sosial, budaya, ekonomi, dan politik yang sesuai dengan karakteristik dan kekhasan sumber daya manusia serta kondisi alam dan kebudayaan orang papua.
                        Hal ini penting sebagai bagian dari pengembangan jati diri orang Papua yang seutuhnya ditunjukkan dengan penegasan identitas dan Adat istiadat yang dimilikinya. Istilah “khusus diartikan sebagai perlakuan berbeda yang diberikan kepada papua karena kekhususan yang dimilikinya. Kekhususan tersebut mencakup hal-hal seperti tingkat sosial ekonomi masyarakat, kebudayaan dan sejarah politik. Dalam pengertian praktisnya, kekhususan Otonomi Papua berarti bahwa ada hal-hal berdasar yang hanya   berlaku di Papua dan mungkin tidak berlaku di daerah lain di Indonesia, dan hal-hal yang berlaku di daerah lain yang tidak diterapkan di Papua.

B.     PERMASALAHAN YANG MELATARBELAKANGI OTONOMI KHUSUS PAPUA
                        Masalah yang melatarbelakangi lahirnya kebijakan otonomi khusus bagi Propinsi Papua menurut Tim Asistensi Otsus Papua (Sumule, 2002: 39-40) berawal dari belum berhasilnya pemerintah Jakarta memberikan Kesejahteraan, Kemakmuran, dan pengakuan terhadap hak-hak dasar rakyat Papua. Kondisi masyarakat Papua dalam bidang pendidikan, ekonomi, kebudayaan dan sosial politik masih memprihatinkan. Sebagian di antara mereka masih hidup seperti di zaman batu. Selain itu, persoalan persoalan mendasar seperti pelanggaran hak-hak asasi manusia dan pengingkaran terhadap hak kesejahteraan rakyat papua masih juga belum diselesaikan secara adil dan bermartabat (lihat Maniagasi, 2001: 65). Keadaan ini telah mengakibatkan munculnya berbagai ketidakpuasan yang tersebar di seluruh tanah Papua dan diekspresikan dalam bermacam bentuk. Banyak diantara ekspresi ekspresi tersebut dihadapi pemerintah pusat dengan cara-cara kekerasan bahkan tidak jarang menggunakan kekuatan militer secara berlebihan. Puncaknya adalah semakin banyaknya rakyat Papua ingin melepaskan diri dari NKRI sebagai suatu alternatif memperbaiki kesejahteraan.
                        Dilihat dari penetapan masalah dalam kebijakan Otonomi Khusus Papua No. 21 Tahun 2001, seperti yang telah dipaparkan diatas. Maka sasaran kebijakan in tak jauh dari permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat papua dan keinginan rakyat Papua, yang antara lain adalah, peningkatan kesejahteraan rakyat papua, penghormatan terhadap hak-hak sipil dan hak asasi atau dasar rakyat papua, kebebasan untuk mengatur rumah tangganya sendiri, serta pembagian hasil alam yang adil bagi rakyat Papua.
            Setidaknya ada 3 masalah, yaitu :
1.  Masalah ketidaksiapan sistem pemerintahan daerah, dapat dilihat dari kualitas sumber daya manusia yang ada.
2.      Pengelolaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.
3.    Saling tidak percaya antara masyarakat Papua dan Pemerintah Pusat, disebabkan oleh adanya pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) dan intimidasi pada rakyat Papua serta telah menimbulkan kekecewaan yang sangat mendalam sehingga mereka memilih alternatif untuk melepaskan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

C.      LANDASAN OTONOMI KHUSUS PAPUA
                        Pemerintah sebagai penanggung jawab akhir pelaksanaan otonomi  daerah telah menyatakan siap untuk mengevaluasi otonomi khusus Papua dan Papua Barat. Untuk itu, Kementerian Dalam Negeri dan Lembaga Administrasi Negara (Pusat Kajian Kinerja Otonomi Daerah) serta Kemitraan Bagi Pembaharuan Tata Pemerintahan Indonesia bekerjasama untuk mempersiapkan dan melaksanakan Evaluasi otonomi Khusus Papua dan Papua Barat. Terdapat beberapa argumen yang mendasari pentingnya evaluasi ini dilakukan, diantaranya :
            Pertama, Implikasi dari dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 21 tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2008 Tentang Penetapan Perpu Nomor 1 Tahun 2008 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua menjadi Undang-Undang, Inpres Nomor 5 Tahun 2007 Tentang Pembangunan Papua dan Papua Barat telah memberi ruang kewenangan yang lebih kepada Provinsi tersebut. Ibarat dua sisi mata uang logam, dibalik kewenangan ini tentu melekat berbagai tanggung jawab yang harus dilaksanakan untuk mencapai tujuan yang diharapkan. Pelaksanaan otonomi khusus tersebut harus menghasilkan kinerja yang signifikan mendorong percepatan pembangunan Papua dan Papua Barat. Berdasarkan hasil temuan berbagai kajian terdahulu dapat ditarik kesimpulan umum bahwa otonomi    khusus belum dapat mencapai tujuan yang diharapkan. Hal yang paling kasat mata adalah kondisi ketertinggalan Provinsi Papua dan Papua Barat yang masih sangat mencolok. Kinerja yang dipengaruhi 
       Kedua, konsekuensi logis dari alasan diterapkannya otonomi khusus di atas berimplikasi pada pengaturan kebijakan, kelembagaan, sumber daya, maupun program pembangunan, yang tidak hanya memerlukan pengaturan khusus yang sesuai, namun bagaimana interaksinya dengan kebijakan umum lainnya merupakan aspek-aspek yang krusial bagi terselenggaranya   otonomi khusus dengan baik.
            Ketiga, penerapan kebijakan tidak lepas dari berbagai masalah dan tantangan yang harus dihadapi. Diperlukan pemahaman yang komprehensif atas permasalahan dan tantangan yang dihadapi sepanjang perjalanan pelaksanaan otonomi khusus yang dinamis.
            Keempat, otonomi khusus Papua dan Papua Barat merupakan pilihan yang masih perlu untuk terus dijalankan, khususnya untuk memperkuat integrasi bangsa dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan menghargai kesetaraan dan keragaman kehidupan sosial budaya masyarakat Papua. Namun ke depan perlu ada upaya yang tepat dan berkelanjutan untuk perbaikan pelaksana Otonomi Khusus dan percepatan pembangunan Papua   dan Papua Barat.
                        Kebiajakan Otonomi Khusus papua dan Papua Barat diatur dengan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 35 tahun 2008 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2008 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua menjadi undang-Undang. Oleh karena hanya bersifat “ menetapkan “ maka   pengaturan mengenai penyelenggaraan pemerintah daerah terdapat dalam Perpu, dimana setidaknya terdapat 2 pasal yang mengalami perubahan dari Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 yaitu :
a)    Perubahan (penambahan) nama provinsi dari semula hanya Papua, menjadi Papua dan Papua Barat, sebagaimana terdapat pada pasal 1 huruf a, “ Provinsi Papua adalah Provinsi Irian Jaya yang kemudian menjadi Provinsi Papua dan Papua Barat yang diberi Otonomi Khusus dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.
b)      Penghapusan ketentuan Pasal 7 huruf a dan huruf l, huruf a mengenai tugas memilih gubernur dan wakil gubernur yang dihapus karena dipilih melalui Pilkada, sedangkan dihapusnya huruf l karena tidak ada utusan provinsi menjadi anggota MPR RI.

                        Dengan kata lain, Penetapan Perpu Nomor 1 Tahun 2008 menjadi Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2008 pada 25 Juli 2008 memberikan   landasan hukum bagi Pemerintah Provinsi Papua.

D.    KEBIJAKAN OTONOMI KHUSUS PAPUA
                        Terkait dengan kebijakan otonomi khusus, setelah pemerintah Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat menerima mandat dan tanggung jawab baru tersebut yang menjadi pertanyaan adalah bagaimana pelaksanaannya (implemantasinya). Oleh karena itu dalam perspektif para   pelaksana di daerah, desentralisasi tidak hanya berarti sebuah tanggung jawab baru yang kompleks, namun juga suatu bentuk hubungan yang berbeda dengan berbagai tingkatan pemerintahan yang harus dikelola secara simultan. Bagi mereka, hal ini menjadi arena baru dengan mandat, aturan, tingkat kesulitan yang baru, dimana mereka dituntut untuk berkinerja. Hal ini bisa saja menjadikan seperti apa bentuk desentralisasinya tidak terlalu diambil pusing. Namun yang lebih penting adalah bagaimana pemerintah daerah beradaptasi dengan tuntutan dan harapan yang baru serta bagaimana mengelola kompleksitas tanggung jawab yang didesentralisasikan.
                        Otonomi khusus bagi Provinsi Papua Barat berlaku sah tahun 2008 setelah Pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2008 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua. Perpu diubah menjadi Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2008 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang Undang Nomor 1 Tahun 2008 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Propinsi Papua menjadi Undang-Undang. Peraturan tersebut merupakan landasan hukum untuk pelaksanaan otonomi khusus agar tidak menimbulkan hambatan percepatan pembangunan khususnya di bidang sosial,.ekonomi dan politik, serta infrastruktur. Hal tersebut dikarenakan Provinsi Papua Barat telah menjalankan urusan pemerintahan dan pembangunan serta memberikan pelayanan kepada masyarakat sejak tahun 2003, namun belum diberlakukan otonomi khusus berdasarkan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001.

E.     PELAKSANAAN OTONOMI KHUSUS PAPUA
1.      Pembagian Kewenangan Pemerintahan Provinsi Papua 
     Lambatnya penyusunan Perdasi dan Perdasus melahirkan sejumlah persoalan salah satunya antara lain masih belum jelasnya koordinasi diantara tiga pelaksana Otsus: DPRP, MRP dan Pemda Propinsi Papua, selain itu didalam Undang-undang Otonomi Khusus Papua di sebutkan bahwa ada 4 bidang yang menjadi prioritas pembangunan di Papua yaitu Pendidikan, Kesehatan, Ekonomi dan Infrastruktur. Dari 4 (empat) bidang tersebut. Perdasi pendidikan, kesehatan, Perdasi tentang tata cara pemilihan anggota MRP dan Perdasus pengelolaan dan pembagian dana Otsus yang baru saja disahkan di DPRP. belum lagi sejumlah aspek lain yang tersirat dalam UU tersebut membutuhkan Perdasi dan Perdasus tertentu. Jika proses penyusunan Perdasi dan Perdasus tidak dikerjakan secara serius maka bisa dipastikan peluang untuk menjadikan Otsus sebagai "tuan" di tanah sendiri bagi orang asli Papua tidak akan menjadi sebuah kenyataan karena Perdasi dan perdasus merupakan gambaran atau ekspresi pembangunan, pemerintahan dan kemasyarakatan yang sesuai dengan nilai-nilai kearifan lokal masyarakat asli Papua., disisi lain keunikan UU Otsus Papua adalah Proses pembangunan di Papua yang diperuntukkan bagi masyarakat asli Papua cukup dalam bentuk Perdasi dan Perdasus tanpa harus membutuhkan Peraturan Pemerintah Pusat. 

2.      Pembagian Dana Keuangan Provinsi Papua
a.   Penyelenggaraan tugas pemerintah provinsi, DPRP dan MRP dibiayai atas beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah. Sedangkan penyelenggaraan tugas Pemerintah di Provinsi Papua dibiayai atas beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.
b.   Sumber-sumber penerimaan Provinsi, Kabupaten/Kota berasal dari komponen:
-       Pendapatan Asli Provinsi, Kabupaten/Kota
Sumber pendapatan asli Provinsi Papua, Kabupaten/Kota terdiri atas :
a)    Pajak Daerah, antara lain: Pajak Kendaraan Bermotor, Pajak Kendaraan di atas Air, Pajak Balik Nama, Pajak Bahan Bakar. Pajak Daerah ini diatur oleh UU Nomor 34/2000 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, Peraturan Pemerintah Nomor 65/2001 tentang Pajak Daerah.
b)   Retribusi Daerah, antara lain: Retribusi Pelayanan Kesehatan, Retribusi Parkir di Tepi Jalan, Retribusi pasar, Retribusi Pengujian Kendaraan Bermotor, Retribusi Pemadam Kebakaran, dll. Retribusi ini diatur oleh UU Nomor 34 Tahun 2000 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, dan Peraturan Pemerintah Nomor 66 Tahun 2001 tentang Retribusi Daerah.
-       Dana Perimbangan
Komponen Dana Perimbangan yang terdiri dari
a.     Bagi Hasil Pajak antara lain Pajak Bumi Bangunan (PBB), Bea Perolehan Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB), dan pajak Penghasilan Badan ataupun pribadi
b.      Bagi Hasil Sumber Daya Alam
ü  Kehutanan sebesar 80% (delapan puluh persen).
ü  Perikanan sebesar 80% (delapan puluh persen).
ü  Pertambangan umum sebesar 80% (delapan puluh persen).
ü  Pertambangan minyak bumi sebesar 70% (tujuh puluh persen).
ü  Pertambangan gas alam sebesar 70% (tujuh puluh persen).
c.    DAU yang ditetapkan dengan undang-undang.
d.   Dana Alokasi Khusus
Penerimaan khusus dalam rangka pelaksanaan otonomi khusus yang besarnya setara dengan 2% (dua persen) dari plafon Dana Alokasi Umum Nasional, yang terutama ditujukan untuk pembiayaan pendidikan dan kesehatan. Dana tambahan dalam rangka pelaksanaan otonomi khusus yang besarnya ditetapkan antara pemerintah dengan DPR berdasarkan usulan Provinsi pada setiap tahun anggaran, yang terutama ditujukan untuk pembiayaan pembangunan infrastruktur.

3.      Perlindungan Hak Asasi Manusia (HAM) Provinsi Papua
Menurut catatan sementara yang dimiliki oleh ELS-HAM (Lembaga Studi dan Advokasi Hak Asasi Manusia) Papua, terdapat sejumlah pelanggaran HAM di Papua seperti berikut ini :
a.  Di Kabupaten Paniai, sejak tahun 1969-1997 diketahui korban meninggal dunia adalah sebanyak 614 orang akibat pembunuhan oleh aparat negara. Korban hilang mencapai 13 orang. Korban pemerkosaan dari tahun 1980 sampai1995 sebanyak 80 orang yang mencakup pelajar SD, SMTP, SMTA sampai ibu rumah tangga.
b. Di Kabupaten Jayawijaya terjadi pula pelanggaran HAM dalam skala signifikan. Di Kecamatan Kelila, pada tahun 1979 diketahui korban meninggal sebanyak 201 orang. Di Kecamatan Assologaima pada tahun 1977 diketahui korban meninggal sebanyak 126 orang. Di Kecamatan Wasi pada tahun 1977 meninggal sebanyak 126 orang. Semua korban ini diakibatkan oleh pembunuhan yang dilakukan oleh aparat negara.
c.  Di Kabupaten Biak Numfor, dari tauhn 1969 sampai tahun 1997 diketahui telah timbul korban kekerasan oleh aparat negara sebanyak 62 orang.
d.  Di Kabupaten Sorong, dari tahun 1969 sampai tahun 1972 diketahui korban meninggal sebanyak 7 orang, hilang 5 orang, dan korban pemerkosaan sebanyak 7 orang. Sebagaimana di kabupaten lain, mereka ini adalah korban kekerasan yang dilakukan oleh aparat negara.

F.     ANALISA OTONOMI KHUSUS PAPUA
1.      Pembagian Kewenangan Pemerintahan Provinsi Papua
Pemerintahan yang ada di Papua masih belum terealisasi dengan maksimal karena ketidakseriusan pengurusan dari perdasi dan perdasus, dan lembaga tersebut merupakan pencerminan kearifan dan karakteristik masyarakat papua, sehingga cita-cita untuk mencapai Otonomi Khusus tidak akan pernah tercapai.

2.      Pembagian Dana Keuangan Provinsi Papua
Dari pemerintah terus adanya Penambahan Dana Otsus tetapi kemiskinan di Provinsi Papua tak kunjung berkurang, hal ini perlu di pertanyakan. Pada saat ini pembagian dana untuk kabupaten atau kota sudah mencapai 60% dan untuk provinsi 40% sesuai yang di anggarkan oleh Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) sebelumnya.
Untuk tahun 2014 gubernur mempunyai rencana untuk pengalokasian dana untuk kabupaten atau kota 80% sedangkan untuk provinsi 20%, harapannya agar kemiskinan dan kesejahteraan masyarakat papua lebih baik.
Untuk saat ini Perdasus belum mempunyai badan lembaga yang mengatur tentang pengalokasian dana otsus, yang ada sampai saat ini hanya Peraturan Gubernur. Pemerintah sudah mengalokasikan anggaran APBD dan telah mengalokasikan dana tambahan sesuai yang diusulkan oleh provinsi yang tujuannya untuk pembiayaan pembangunan infrastruktur.

3.      Perlindungan Hak Asasi Manusia (HAM) Provinsi Papua
Masih banyak terjadinya pelanggaran yang terjadi di Papua, masih adanya pemerkosaan, masih kurangnya penegakan hukum, masih terjadinya kasus penyiksaan serta serangkaian kasus kekerasan yang masih kerap terjadi tapi actor dan pelakunya tidak pernah terungkap, dan seringkali terjadi penembakan terhadap warga sipil namun polisi tidak pernah bisa menangkap para pelakunya.

G.      FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI
1.      Pembagian Kewenangan Pemerintahan Provinsi Papua
Lambatnya penyusunan peraturan pelaksanaan Perdasi, Perdasus, dan Peraturan Pemerinah karena Tim Asistensi Otonomi Papua, yang anggotanya terdiri dari para Intelektual Papua tidak dilibatkan secara penuh dan utuh dalam penyusunan rancangan peraturan pelaksanaan. Tanpa keterlibatan tim ini, tidak hanya prosesnya menjadi lambat, tetapi juga dapat terjadi “missing link” antara nilai dan norma dasar yang diatur dalam undang-undang Otonomi Khusus.

2.      Pembagian Dana Keuangan Provinsi Papua
a.   Sejauh ini pembagian dana Otsus hanya dilakukan berdasarkan kesepakatan Bupati atau Walikota se-tanah Papua. Sementara pengelolaannya hanya didasarkan pada Permendagri (terakhir Permendagri No. 59 Tahun 2006) yang dianggap tidak tepat sasaran.
b.       Dalam struktur APBD Papua sejak pemberlakuan Otsus juga tidak ditemukan kuota dana sebesar 30 persen untuk pendidikan dan 15 persen untuk kesehatan. Pembagian dana Otsus yang besarnya 70 persen untuk Papua dan 30 persen untuk Papua Barat sejak tahun 2008 juga dilakukan dengan tanpa dasar hukum.

3.      Perlindungan Hak Asasi Manusia (HAM) Provinsi Papua
Perlunya jalan dialog yang melibatkan komponen-komponen di Papua dengan Pemerintah Pusat seperti yang pernah dilakukan kepada Aceh. Perlunya jalan rekonsiliasi diantara pengadilan HAM dan pengungkapan kebenaran kejahatan aparat keamanan negara terhadap orang Papua di masa lalu demi penegakan hukum dan keadilan bagi Papua, terutama korban, keluarganya dan warga Indonesia secara umum. Sebagai tindak lanjut dari hasil penelitian itu, Muridan S. Widjojo bersama tokoh intelektual Papua, Dr.Neles Tebay lebih jauh telah menggagas wacana Dialog Papua-Jakarta. Hanya saja, wacana dialog itu sampai saat ini belum direspon positif oleh para pihak di Papua dan Jakarta.

H.      SOLUSI
1)     Pembagian Kewenangan Pemerintahan Provinsi Papua
a.      Perlu pengaturan yang jelas, mana yang diatur oleh Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang otonomi khusus dan mana yang diatur Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah seperti pengaturan bidang pendidikan, kesehatan, sosial dimana bidang-bidang tersebut juga sudah ada Standar Pelayanan Minimal, dengan memperhatikan situasi dan kondisi di Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat.
b.    Perdasi-perdasus perlu lebih disosialisasikan oleh pemerintah provinsi dan diikuti dengan upaya-upaya konkrit dari pemerintah kabupaten/kota.

2.      Pembagian Dana Keuangan Provinsi Papua
·    Diperlukan perbaikan dalam manajemen keuangan otonomi khusus mulai dari perencanaan, pelaksanaan, koordinasi, sampai pada tahapan monitoring dan evaluasi sesuai dengan sistem pengelolaan keuangan daerah dalam rangka penyelenggaraan otonomi khusus Provinsi Papua, untuk terciptanya akuntabilatas dan transparansi pengelolaan dana otonomi khusus. Diperlukan upaya perbaikan dalam mekanisme dan perhitungan pengalokasian dana otonomi khusus Papua dengan lebih memperhatikan jumlah penduduk asli Papua dan kondisi ketertinggalan di setiap kabupaten atau kota. Selain itu perlu adanya perbaikan dalam mekanisme transfer dari pusat ke provinsi.
·      Peningkatan kapasitas yang berkesinambungan terhadap sumber daya yang ada bukan hanya lembaga khusus tetapi juga seluruh pemangku kepentingan yang terlibat dalam penyelenggaraan otonomi khusus Papua, seperti halnya Anggota DPRP/DPRPB dan Aparatur Pemerintah Provinsi Papua.
· Pengelolaan dana otonomi khusus harus dilakukan secara transparan melalui laporan pertanggungjawaban publik dengan demikian fungsi kontrol akan berjalan efektif, sesuai dengan mekanisme yang berlaku untuk pengelolaan keuangan daerah.

3.      Perlindungan Hak Asasi Manusia (HAM) Provinsi Papua
Ada dua pendekatan yang perlu dilakukan dalam rangka penyelesaian secara tuntas dan bermartabat masalah-masalah pelanggaran HAM di Provinsi Papua. Yang pertama adalah mendirikan institusi penegakan hukum yang terkait dengan penyelesaian pelanggaran HAM, seperti cabang dari Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (HAM) dan Peradilan HAM. Yang kedua adalah dengan melakukan penelitian oleh suatu badan independen tentang sejarah integerasi Papua ke dalam NKRI. Selain kedua pendekatan tersebut, pendekatan nilai-nilai budaya masyarakat Papua juga dapat digunakan untuk menyelesaikan masalah HAM ini.


BAB III
PENUTUP

A.    KESIMPULAN
1.        Pembagian Kewenangan Pemerintahan Provinsi Papua
v  Tidak adanya petunjuk pelaksanaan maupun petunjuk teknis mengakibatkan pelaksanaan kewenangan khusus seperti Pendidikan, Kesehatan, Sosial, Ketenagakerjaan dan Lingkungan Hidup yang berimplikasi kepada ketidakjelasan urusan-urusan yang harus dikelola sebagai penjabaran kewenangan khusus tersebut dan seringkali terjadi tumpang tindih pengelolaan kewenangan tersebut.
v  Belum terbangunnya pola dan mekanisme kerja kewenangan antara ketiga institusi strategis (DPRP atau DPRPB, Pemerintah Provinsi, dan MRP) mengakibatkan kinerjanya yang tidak optimal, ketidakjelasan hubungan dan pola kerja di antara lembaga-lembaga ini mengakibatkan munculnya “ konflik kepentingan ”.
v  Dalam lembaga khusus, DPRP tidak memiliki peran dan fungsi secara langsung dalam mewujudkan perlindungan hak–hak asli orang Papua, keterberpihakan kepada masyasarkat asli Papua diwujudkan ketika pembahasan dan penetapan Peraturan Daerah Khusus (Perdasus) yang melibatkan hubungan kerja antara DPRP, MRP dan Gubernur.

2.        Pembagian Dana Keuangan Provinsi Papua
·  Pengelolaan dana dalam rangka pelaksanaan otonomi khusus di Provinsi Papua dalam prakteknya belum berjalan secara optimal.
·      Belum adanya acuan yang jelas dalam pengelolaaan dana otonomi khusus tersebut, sehingga pemerintah kabupaten atau kota dalam pelaksanaannya seringkali mengalami kebingungan dalam hal pengalokasiannya. Setelah diterbitkannya Peraturan Gubernur yang mengatur pengelolaan dana otonomi khusus, program dan kegiatan mulai lebih terarah pada sektor prioritas. Namun keberadaan peraturan ini belum optimal dan masih dijumpai ketidaksesuaian pengelolaan dana dengan prioritas otonomi khusus.

3.        Perlindungan Hak Asasi Manusia (HAM) Provinsi Papua
Untuk Hak Asasi Manusia di Papua masih banyak terjadi pelanggaran, karena kurang pedulinya pemerintah pusat terhadap masyarakat dan kurangnya hubungan antara pemerintah dengan masyarakat sehingga timbul banyak pelanggaran Hak Asasi Manusia.

B.     SARAN
1.   Pembagian Kewenangan Pemerintahan Provinsi Papua
      Untuk menjamin agar pelaksanaan Otonomi Khusus Papua berjalan secara lancar khususnya dalam pelaksanaan kewenangan pemerintah disarankan dilakukan komunikasi dan koordinasi internal maupun eksternal dari semua pemangku kepentingan (Pemerintah, Pemerintah Provinsi, DPRP/DPRPB, MRP Provinsi Papua/MRP Provinsi Papua Barat, Pemerintah Kabupaten/Kota, DPRD Kabupaten/Kota) perlu ditingkatkan.

2.   Pembagian Dana Keuangan Provinsi Papua
Selama ini penggunaan dana hanya dibagi berdasarkan kesepakatan bersama antara provinsi dan daerah kabupaten/kota, hal inilah yang menimbulkan kerancuan dalam pengalokasiannya kepada masyarakat dan juga dibutuhkan penyempurnaan berbagai perdasus dan perdasi sehingga dapat lebih berpihak kepada masyarakat asli Papua seperti Perdasi Kependudukan harus lebih menitik beratkan kepada pemberdayaan penduduk asli Papua agar dapat memiliki kesempatan yang sama dengan pendatang dalam hal pemenuhan lapangan pekerjaan.
3.   Perlindungan Hak Asasi manusia (HAM) Provinsi Papua
Pemerintah Pusat dan Pemerintah Propinsi perlu memberikan kompensasi dan rehabilitasi kepada korban, keluarga korban, atau ahli waris korban pelanggaran HAM di Tanah Papua menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku, termasuk dalam kebiasaan-kebiasaan yang berlaku dalam adat istiadat suku-suku di Papua; dan Upaya untuk terus membuka pintu bagi dialog-dialog dalam bentuk persuasif bukan dengan cara konfrontatif yang bertujuan meluruskan sejarah politik Papua di masa lalu merupakan hal penting. Pelurusan sejarah ini perlu dilakukan dalam rangka mencari kebenaran hakiki yang hingga kini terus dipertanyakan banyak pihak di Tanah Papua. Pelaksanaan Otonomi Khusus harus mampu mewadahi proses secara damai dan bermartabat, sekaligus mampu membangun kerangka-kerangka dasar penyelesaian berbagai masalah terkait

















KATA PENUTUP

Demikian makalah yang berjudul “ OTONOMI KHUSUS PAPUA ”, yang telah kami susun dengan singkat dan jelas ini.

Apabila terdapat kesalahan dalam penyusunan maupun penulisan makalah ini, kami mohon maaf yang sebesar – besarnya. Tak lupa kami ucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah memberikan dukungan dalam proses pembuatan makalah ini.

Akhirnya kami ucapkan terima kasih. Semoga makalah ini dapat bermanfaat dalam kegiatan belajar mengajar pada umumnya, dan menambah ilmu pengetahuan kita pada khususnya.






Surabaya, 28 Oktober 2013


Penyusun





DAFTAR PUSTAKA
6.     20130131073026.Evaluasi Otsus Papua dan Papua Barat.pdf


















MAKALAH KWN DAN PANCASILA
“ OTONOMI KHUSUS PAPUA “



KELOMPOK 1
DISUSUN OLEH :

1. HIMMATUL KHOIRO  (13023011)
2. NUR CHITA UFITA     (13023034)
3. WAHYU FAJAR            (13023039)
4. RAFIKA R.W.                (13023059)
5. ERIEN ISDAYANTI     (13023069)
6. UUN KUMALA SARI   (13023079)
7. WIDYANINGTYAS .R  (13023090)
8. ARIF SHOFRI .K          (13023108)

KELAS : AKUNTANSI A

UNIVERSITAS BHAYANGKARA SURABAYA
TAHUN 2013-2014

KATA PENGANTAR

       Kami panjatkan puji syukur kehadirat ALLAH SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya sejak awal melakukan analisa dan proses pembuatan hingga selesainya makalah ini.

            Makalah ini berisi tentang “OTONOMI KHUSUS PAPUA ”. Makalah ini menyajikan pengetahuan secara kontektual dan menampilkan berbagai hasil analisa pemberian otonomi khusus papua, sehingga pembelajaran akan memiliki motivasi untuk terbiasa berfikir kreatif dan terampil.

            Kami juga ingin mengucapkan terima kasih kepada dosen pembimbing yang telah memberikan pengantar pembelajaran otnomi khusus serta dukungan dalam menyelesaikan makalah ini.

            Akhirnya dengan kerendahan hati kami membuk diri dari segala bentuk tegur sapa, saran, dan pendapat demi perbaikan dan kesempurnaan makalah ini. Semoga bermanfaat bagi kita semua.

Surabaya, 28 Oktober 2013

Penyusun
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR................................................................................................. i
DAFTAR ISI............................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN
A.  Latar Belakang ............................................................................................... 1
B.   Rumusan Masalah........................................................................................... 3
C.   Tujuan ........................................................................................................... 3

BAB II PEMBAHASAN
A. Pengertian Otonomi Khusus Papua.................................................................. 4
B. Permasalahan Yang Melatarbelakangi Otonomi Khusus Papua......................... 5
C. Landasan Otonomi Khusus Papua .................................................................. 6
D. Kebijakan Otonomi Khusus Papua ................................................................. 8
E. Pelaksanaan Otonomi Khusus Papua
·         Pembagian Kewenangan Pemerintah Prov.Papua .................................... 9
·         Pembagian Dana Keuangan Prov.Papua ................................................ 10
·         Perlindungan Hak Asasi dan Rekonsiliasi Papua ..................................... 11
F. Analisa Otonomi Khusus Papua
·         Pembagian Kewenangan Pemerintah Prov.Papua ................................... 12
·         Pembagian Dana Keuangan Prov.Papua ................................................ 15
·         Perlindungan Hak Asasi dan Rekonsiliasi Papua ..................................... 18
G. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi
·         Pembagian Kewenangan Pemerintah Prov.Papua ................................... 20
·         Pembagian Dana Keuangan Prov.Papua ................................................ 20
·         Perlindungan Hak Asasi dan Rekonsiliasi Papua ..................................... 20
H. Solusi
·         Pembagian Kewenangan Pemerintah Prov.Papua ................................... 21
·         Pembagian Dana Keuangan Prov.Papua ................................................ 21
·         Perlindungan HakAsasi dan Rekonsiliasi Papua ...................................... 22
BAB III PENUTUP
A.    Kesimpulan
·         Pembagian Kewenangan Pemerintah Prov.Papua ................................... 23
·         Pembagian Dana Keuangan Prov.Papua ................................................ 23
·         Perlindungan HakAsasi dan Rekonsiliasi Papua ...................................... 24
B.     Saran
·         Pembagian Kewenangan Pemerintah Prov.Papua ................................... 24
·         Pembagian Dana Keuangan Prov.Papua ................................................ 25
·         Perlindungan HakAsasi dan Rekonsiliasi Papua ...................................... 25
KATA PENUTUP .................................................................................................... 27
DAFTAR PUSTAKA................................................................................................ 28
                                                                       




1 komentar: