BAB
I
PENDAHULUAN
A. LATAR
BELAKANG
Tahun 1999, Pemerintah menerbitkan
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999
tentang Pemerintah Daerah, yang memberikan kewenangan yang luas kepada daerah untuk mengatur dan mengurus urusan rumah tangga sendiri, namun dalam perjalanannya
undang-undang tersebut dianggap
belum mampu mengakomodasikan kekhasan budaya dan adat istiadat masyarakat Papua baik dalam pengelolaan pemerintahan
maupun pembangunan di wilayah
Papua. Akhirnya pada Tahun 2001 Pemerintah Pusat
mengeluarkan kebijakan Otonomi Khusus di Provinsi Papua dengan diterbitkannya Undang-Undang Nomor 21
Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus
Bagi Provinsi Papua.
Kebijakan Otonomi Khusus Papua pada
dasarnya merupakan pemberian kewenangan
yang lebih luas bagi Pemerintah Daerah Provinsi dan rakyat Papua untuk mengatur dan mengurus diri sendiri di
dalam kerangka Negara
Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Kewenangan yang berarti peran
dan tanggung jawab yang lebih besar dalam mengatur urusan rumah tangganya, menyelenggarakan pemerintahan
dan mengatur pemanfaatan kekayaan
alam di Papua bagi kemakmuran rakyat Papua, diharapkan
dengan kebijakan ini akan dapat mengurangi kesenjangan di Provinsi Papua dan Papua Barat dengan provinsi-provinsi
lainnya dengan memberikan ruang lebih bagi masyarakat lokal Papua dan
Papua Barat sebagai subyek utama
dalam pembangunan.
Keputusan
politik penyatuan Papua (semula disebut Irian Barat kemudian berganti menjadi Irian Jaya) menjadi bagian dari
Negara Kesatuan Republik
Indonesia pada hakikatnya mengandung cita-cita luhur. Namun kenyataannya berbagai kebijakan dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan yang
sentralistik belum memenuhi rasa keadilan,
belum sepenuhnya mendukung terwujudnya penegakan hukum, dan belum sepenuhnya menampakkan penghormatan terhadap Hak
Asasi Manusia (HAM) di
Provinsi Papua, khususnya masyarakat Papua. Kondisi tersebut mengakibatkan terjadinya kesenjangan hampir pada semua
sektor kehidupan, terutama dalam
bidang pendidikan, kesehatan, ekonomi, kebudayaan
dan sosial politik. Pelanggaran HAM, pengabaian hak-hak dasar penduduk asli dan adanya perbedaan pendapat mengenai
sejarah penyatuan Papua ke dalam Negara
Republik Indonesia adalah masalah-masalah
yang perlu diselesaikan. Upaya penyelesaian masalah tersebutselama ini dinilai kurang menyentuh akar
masalah dan aspirasi masyarakatPapua,
sehingga memicu berbagai bentuk kekecewaan dan ketidakpuasan.
B.
RUMUSAN
MASALAH
Adapun perumusan masalah yang
dapat kami ambil :
1. Apa yang menjadi latar
belakang pemberian otonomi khusus papua ?
2. Apa yang menjadi landasan
otonomi khusus papua ?
3. Bagaimana pelaksanaan otonomi
khusus papua ?
4. Bagaimana analisa dari
otonomi khusus papua ?
C. TUJUAN
Secara umum, tujuan dari
makalah ini adalah menjawab beberapa hal
yang menjadi pokok pembahasan kami :
1. Mengetahui apa saja masalah-masalah
pada level kebijakan yang perlu mendapat perhatian, sebagai bahan pertimbangan
perbaikan ke depan.
2. Mengetahui bagaimana implementasi
kebijakan otonomi khusus Papua dan Papua Barat terkait pengaturan dan
pelaksanaan pengelolaan keuangan, kewenangan-kewenangan khusus, lembaga khusus
dan kekhususan lainnya.
3. Mengidentifikasi masalah-masalah
kebijakan dan implementasi kebijakan otonomi khusus Papua dan Papua Barat,
khususnya terkait pengelolaan keuangan dan pelaksanaan kewenangan khusus.
4. Mengembangkan strategi perbaikan untuk
memperkuat operasional kebijakan dan implementasi kebijakan otonomi khusus
Papua dan Papua Barat.
BAB II
PEMBAHASAN
A. PENGERTIAN
OTONOMI KHUSUS PAPUA
Istilah
“ otonomi “ dalam Otonomi Khusus
Papua diartikan sebagai
kebebasan bagi rakyat Papua untuk mengatur dan mengurus diri sendiri, sekaligus pula berarti kebebasan
untuk berpemerintahan sendiri dan
mengatur pemanfaatan kekayaan alam Papua untuk kemakmuran rakyat Papua dengan tidak meninggalkan
tanggung jawab untuk ikut serta mendukung
penyelenggaraan pemerintahan pusat dan daerah-daerah lain di Indonesia yang memang kekurangan. Hal
lain tidak kalah penting adalah kebebasan
untuk menentukan strategis pembangunan sosial, budaya, ekonomi, dan politik yang sesuai dengan karakteristik dan
kekhasan sumber daya manusia
serta kondisi alam dan kebudayaan orang papua.
Hal ini penting sebagai
bagian dari pengembangan jati diri orang Papua
yang seutuhnya ditunjukkan dengan penegasan identitas dan Adat istiadat yang dimilikinya. Istilah “khusus “ diartikan sebagai perlakuan berbeda
yang diberikan kepada papua karena kekhususan yang dimilikinya. Kekhususan tersebut mencakup hal-hal
seperti tingkat sosial ekonomi masyarakat, kebudayaan dan sejarah politik. Dalam pengertian praktisnya, kekhususan Otonomi Papua berarti bahwa ada
hal-hal berdasar yang hanya berlaku di
Papua dan mungkin tidak berlaku di daerah lain di Indonesia, dan hal-hal yang berlaku di daerah lain
yang tidak diterapkan di Papua.
B. PERMASALAHAN YANG MELATARBELAKANGI OTONOMI KHUSUS
PAPUA
Masalah
yang melatarbelakangi lahirnya kebijakan otonomi khusus bagi Propinsi Papua menurut Tim Asistensi Otsus Papua (Sumule, 2002: 39-40) berawal dari belum berhasilnya
pemerintah Jakarta memberikan Kesejahteraan,
Kemakmuran, dan
pengakuan terhadap
hak-hak dasar rakyat Papua.
Kondisi masyarakat Papua dalam bidang pendidikan, ekonomi, kebudayaan
dan sosial politik masih memprihatinkan.
Sebagian di antara mereka masih hidup seperti
di zaman batu. Selain itu, persoalan persoalan mendasar
seperti
pelanggaran
hak-hak asasi manusia dan pengingkaran terhadap hak kesejahteraan rakyat papua masih
juga belum diselesaikan secara adil dan bermartabat
(lihat Maniagasi, 2001:
65). Keadaan ini
telah mengakibatkan munculnya berbagai
ketidakpuasan yang tersebar di seluruh tanah
Papua dan diekspresikan dalam bermacam bentuk. Banyak diantara ekspresi ekspresi tersebut dihadapi pemerintah pusat dengan
cara-cara kekerasan bahkan tidak jarang
menggunakan kekuatan militer secara berlebihan.
Puncaknya adalah
semakin banyaknya
rakyat Papua ingin
melepaskan diri
dari NKRI sebagai suatu alternatif memperbaiki kesejahteraan.
Dilihat
dari penetapan masalah dalam
kebijakan Otonomi Khusus Papua No. 21 Tahun 2001, seperti
yang telah dipaparkan diatas. Maka sasaran
kebijakan in tak jauh
dari permasalahan
yang dihadapi oleh masyarakat
papua dan keinginan rakyat Papua, yang antara lain adalah, peningkatan
kesejahteraan rakyat papua, penghormatan terhadap hak-hak sipil dan
hak asasi atau dasar rakyat papua, kebebasan untuk mengatur rumah tangganya sendiri, serta
pembagian hasil alam yang adil bagi rakyat Papua.
Setidaknya ada 3 masalah, yaitu :
1. Masalah ketidaksiapan
sistem pemerintahan daerah, dapat dilihat dari kualitas sumber daya manusia
yang ada.
2.
Pengelolaan
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.
3. Saling tidak
percaya antara masyarakat Papua dan Pemerintah Pusat, disebabkan oleh adanya
pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) dan intimidasi pada rakyat Papua serta
telah menimbulkan kekecewaan yang sangat mendalam sehingga mereka memilih
alternatif untuk melepaskan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia
(NKRI).
C. LANDASAN OTONOMI KHUSUS PAPUA
Pemerintah
sebagai penanggung jawab akhir pelaksanaan otonomi daerah telah menyatakan siap untuk mengevaluasi otonomi khusus
Papua dan Papua Barat. Untuk itu,
Kementerian Dalam Negeri dan Lembaga Administrasi
Negara (Pusat Kajian Kinerja Otonomi Daerah) serta Kemitraan Bagi Pembaharuan Tata Pemerintahan Indonesia bekerjasama untuk mempersiapkan dan melaksanakan
Evaluasi otonomi Khusus Papua dan
Papua Barat. Terdapat beberapa argumen yang mendasari pentingnya evaluasi ini dilakukan, diantaranya
:
Pertama, Implikasi dari
dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 21 tahun 2001
Tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun
2008 Tentang Penetapan Perpu Nomor
1 Tahun 2008 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi
Papua menjadi Undang-Undang, Inpres
Nomor 5 Tahun 2007 Tentang Pembangunan
Papua dan Papua Barat telah memberi ruang kewenangan yang lebih kepada Provinsi tersebut. Ibarat dua sisi mata uang
logam, dibalik kewenangan ini
tentu melekat berbagai tanggung jawab yang harus dilaksanakan untuk mencapai tujuan yang diharapkan.
Pelaksanaan otonomi khusus tersebut
harus menghasilkan kinerja yang signifikan mendorong percepatan pembangunan Papua dan Papua Barat. Berdasarkan
hasil temuan berbagai kajian
terdahulu dapat ditarik kesimpulan umum bahwa otonomi khusus belum dapat mencapai tujuan yang diharapkan. Hal yang
paling kasat mata adalah kondisi
ketertinggalan Provinsi Papua dan Papua Barat yang
masih sangat mencolok. Kinerja yang dipengaruhi
Kedua, konsekuensi logis dari
alasan diterapkannya otonomi khusus di atas berimplikasi
pada pengaturan kebijakan, kelembagaan, sumber daya, maupun program pembangunan, yang tidak hanya memerlukan pengaturan khusus yang sesuai, namun
bagaimana interaksinya dengan kebijakan umum
lainnya merupakan aspek-aspek yang krusial bagi terselenggaranya otonomi khusus dengan baik.
Ketiga, penerapan kebijakan
tidak lepas dari berbagai masalah dan tantangan
yang harus dihadapi. Diperlukan pemahaman yang komprehensif atas permasalahan dan tantangan yang dihadapi
sepanjang perjalanan pelaksanaan
otonomi khusus yang dinamis.
Keempat, otonomi khusus Papua
dan Papua Barat merupakan pilihan yang masih
perlu untuk terus dijalankan, khususnya untuk memperkuat integrasi bangsa dalam wadah Negara Kesatuan Republik
Indonesia dengan menghargai
kesetaraan dan keragaman kehidupan sosial budaya masyarakat Papua. Namun ke depan perlu ada
upaya yang tepat dan berkelanjutan untuk perbaikan
pelaksana Otonomi Khusus dan percepatan pembangunan Papua dan Papua Barat.
Kebiajakan Otonomi
Khusus papua dan Papua Barat diatur dengan Undang-Undang
Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang
Nomor 35 tahun 2008 tentang
Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2008 tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang
Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua menjadi
undang-Undang. Oleh karena hanya bersifat “ menetapkan “ maka pengaturan mengenai penyelenggaraan pemerintah
daerah terdapat dalam Perpu, dimana
setidaknya terdapat 2 pasal yang mengalami perubahan dari Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001
yaitu :
a) Perubahan
(penambahan) nama provinsi dari semula hanya Papua, menjadi Papua dan Papua
Barat, sebagaimana terdapat pada pasal 1 huruf a, “ Provinsi Papua adalah
Provinsi Irian Jaya yang kemudian menjadi Provinsi Papua dan Papua Barat yang
diberi Otonomi Khusus dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.
b)
Penghapusan
ketentuan Pasal 7 huruf a dan huruf l, huruf a mengenai tugas memilih gubernur
dan wakil gubernur yang dihapus karena dipilih melalui Pilkada, sedangkan
dihapusnya huruf l karena tidak ada utusan provinsi menjadi anggota MPR RI.
Dengan kata lain,
Penetapan Perpu Nomor 1 Tahun 2008 menjadi Undang-Undang
Nomor 35 Tahun 2008 pada 25 Juli 2008 memberikan landasan hukum bagi Pemerintah Provinsi Papua.
D.
KEBIJAKAN
OTONOMI KHUSUS PAPUA
Terkait
dengan kebijakan otonomi khusus, setelah pemerintah Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat menerima mandat dan
tanggung jawab baru tersebut
yang menjadi pertanyaan adalah bagaimana pelaksanaannya
(implemantasinya). Oleh karena itu dalam perspektif para pelaksana di daerah, desentralisasi tidak
hanya berarti sebuah tanggung jawab
baru yang kompleks, namun juga suatu bentuk hubungan yang berbeda dengan berbagai tingkatan
pemerintahan yang harus dikelola secara simultan.
Bagi mereka, hal ini menjadi arena baru dengan mandat, aturan, tingkat kesulitan yang baru, dimana mereka
dituntut untuk berkinerja. Hal ini
bisa saja menjadikan seperti apa bentuk desentralisasinya tidak terlalu diambil pusing. Namun yang lebih
penting adalah bagaimana pemerintah daerah
beradaptasi dengan tuntutan dan harapan yang baru serta bagaimana mengelola kompleksitas tanggung jawab
yang didesentralisasikan.
Otonomi khusus bagi Provinsi Papua Barat berlaku
sah tahun 2008 setelah Pemerintah
mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2008 tentang Perubahan atas Undang-Undang
Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi
Khusus bagi Provinsi Papua. Perpu diubah
menjadi Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2008 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang
Undang Nomor 1 Tahun 2008 tentang
Perubahan atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Propinsi Papua
menjadi Undang-Undang. Peraturan tersebut
merupakan landasan hukum untuk pelaksanaan otonomi khusus agar tidak menimbulkan hambatan percepatan
pembangunan khususnya di bidang
sosial,.ekonomi dan politik, serta infrastruktur. Hal tersebut dikarenakan Provinsi Papua Barat telah
menjalankan urusan pemerintahan dan
pembangunan serta memberikan pelayanan kepada masyarakat sejak tahun 2003, namun belum diberlakukan
otonomi khusus berdasarkan Undang-Undang
Nomor 21 Tahun 2001.
E.
PELAKSANAAN OTONOMI KHUSUS PAPUA
1. Pembagian Kewenangan
Pemerintahan Provinsi Papua
Lambatnya penyusunan
Perdasi dan Perdasus melahirkan sejumlah persoalan salah satunya antara lain
masih belum jelasnya koordinasi diantara tiga pelaksana Otsus: DPRP, MRP dan Pemda
Propinsi Papua, selain itu didalam Undang-undang Otonomi Khusus Papua di
sebutkan bahwa ada 4 bidang yang menjadi prioritas pembangunan di Papua yaitu
Pendidikan, Kesehatan, Ekonomi dan Infrastruktur. Dari 4 (empat) bidang
tersebut. Perdasi pendidikan, kesehatan, Perdasi tentang tata cara pemilihan
anggota MRP dan Perdasus pengelolaan dan pembagian dana Otsus yang baru saja
disahkan di DPRP. belum lagi sejumlah aspek lain yang tersirat dalam UU
tersebut membutuhkan Perdasi dan Perdasus tertentu. Jika proses penyusunan
Perdasi dan Perdasus tidak dikerjakan secara serius maka bisa dipastikan
peluang untuk menjadikan Otsus sebagai "tuan" di tanah sendiri bagi
orang asli Papua tidak akan menjadi sebuah kenyataan karena Perdasi dan
perdasus merupakan gambaran atau ekspresi pembangunan, pemerintahan dan
kemasyarakatan yang sesuai dengan nilai-nilai kearifan lokal masyarakat asli
Papua., disisi lain keunikan UU Otsus Papua adalah Proses pembangunan di Papua
yang diperuntukkan bagi masyarakat asli Papua cukup dalam bentuk Perdasi dan
Perdasus tanpa harus membutuhkan Peraturan Pemerintah Pusat.
2.
Pembagian
Dana Keuangan Provinsi Papua
a.
Penyelenggaraan
tugas pemerintah provinsi, DPRP dan MRP dibiayai atas beban Anggaran Pendapatan
dan Belanja Daerah. Sedangkan penyelenggaraan tugas Pemerintah di Provinsi
Papua dibiayai atas beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.
b.
Sumber-sumber
penerimaan Provinsi, Kabupaten/Kota berasal dari komponen:
-
Pendapatan
Asli Provinsi, Kabupaten/Kota
Sumber pendapatan asli Provinsi Papua,
Kabupaten/Kota terdiri atas :
a)
Pajak Daerah,
antara lain: Pajak Kendaraan Bermotor, Pajak Kendaraan di atas Air, Pajak Balik
Nama, Pajak Bahan Bakar. Pajak Daerah ini diatur oleh UU Nomor 34/2000 tentang
Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, Peraturan Pemerintah Nomor 65/2001 tentang
Pajak Daerah.
b)
Retribusi Daerah,
antara lain: Retribusi Pelayanan Kesehatan, Retribusi Parkir di Tepi Jalan,
Retribusi pasar, Retribusi Pengujian Kendaraan Bermotor, Retribusi Pemadam
Kebakaran, dll. Retribusi ini diatur oleh UU Nomor 34 Tahun 2000 tentang Pajak
Daerah dan Retribusi Daerah, dan Peraturan Pemerintah Nomor 66 Tahun 2001
tentang Retribusi Daerah.
- Dana Perimbangan
Komponen Dana Perimbangan yang terdiri dari
a. Bagi Hasil Pajak antara lain Pajak Bumi Bangunan (PBB),
Bea Perolehan Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB), dan pajak Penghasilan Badan ataupun
pribadi
b. Bagi Hasil Sumber Daya
Alam
ü Kehutanan sebesar 80% (delapan puluh
persen).
ü Perikanan sebesar 80% (delapan puluh
persen).
ü Pertambangan umum sebesar 80% (delapan
puluh persen).
ü Pertambangan minyak bumi sebesar 70%
(tujuh puluh persen).
ü Pertambangan gas alam sebesar 70%
(tujuh puluh persen).
c. DAU yang ditetapkan
dengan undang-undang.
d. Dana Alokasi Khusus
Penerimaan khusus dalam rangka pelaksanaan otonomi khusus yang besarnya
setara dengan 2% (dua persen) dari plafon Dana Alokasi Umum Nasional, yang
terutama ditujukan untuk pembiayaan pendidikan dan kesehatan. Dana tambahan
dalam rangka pelaksanaan otonomi khusus yang besarnya ditetapkan antara
pemerintah dengan DPR berdasarkan usulan Provinsi pada setiap tahun anggaran,
yang terutama ditujukan untuk pembiayaan pembangunan infrastruktur.
3.
Perlindungan Hak Asasi Manusia (HAM)
Provinsi Papua
Menurut
catatan sementara yang dimiliki oleh ELS-HAM (Lembaga Studi dan Advokasi Hak
Asasi Manusia) Papua, terdapat sejumlah pelanggaran HAM di Papua seperti
berikut ini :
a. Di Kabupaten Paniai, sejak tahun 1969-1997
diketahui korban meninggal dunia adalah sebanyak 614 orang akibat pembunuhan
oleh aparat negara. Korban hilang mencapai 13 orang. Korban pemerkosaan dari
tahun 1980 sampai1995 sebanyak 80 orang yang mencakup pelajar SD, SMTP, SMTA
sampai ibu rumah tangga.
b. Di Kabupaten Jayawijaya terjadi pula pelanggaran
HAM dalam skala signifikan. Di Kecamatan Kelila, pada tahun 1979 diketahui
korban meninggal sebanyak 201 orang. Di Kecamatan Assologaima pada tahun 1977
diketahui korban meninggal sebanyak 126 orang. Di Kecamatan Wasi pada tahun
1977 meninggal sebanyak 126 orang. Semua korban ini diakibatkan oleh pembunuhan
yang dilakukan oleh aparat negara.
c. Di Kabupaten Biak Numfor, dari tauhn 1969 sampai
tahun 1997 diketahui telah timbul korban kekerasan oleh aparat negara sebanyak
62 orang.
d. Di Kabupaten Sorong, dari tahun 1969 sampai tahun
1972 diketahui korban meninggal sebanyak 7 orang, hilang 5 orang, dan korban
pemerkosaan sebanyak 7 orang. Sebagaimana di kabupaten lain, mereka ini adalah
korban kekerasan yang dilakukan oleh aparat negara.
F. ANALISA OTONOMI KHUSUS
PAPUA
1. Pembagian Kewenangan
Pemerintahan Provinsi Papua
Pemerintahan yang ada di Papua masih belum
terealisasi dengan maksimal karena ketidakseriusan pengurusan dari perdasi dan
perdasus, dan lembaga tersebut merupakan pencerminan kearifan dan karakteristik
masyarakat papua, sehingga cita-cita untuk mencapai Otonomi Khusus tidak akan
pernah tercapai.
2.
Pembagian
Dana Keuangan Provinsi Papua
Dari pemerintah
terus adanya Penambahan Dana Otsus
tetapi kemiskinan di Provinsi
Papua tak kunjung berkurang, hal
ini perlu di pertanyakan. Pada saat ini pembagian dana untuk kabupaten atau kota sudah mencapai 60% dan untuk provinsi 40% sesuai yang di anggarkan oleh Anggaran
Pendapatan Belanja Daerah (APBD) sebelumnya.
Untuk tahun
2014 gubernur mempunyai rencana untuk pengalokasian dana untuk kabupaten atau kota 80% sedangkan
untuk provinsi 20%, harapannya agar kemiskinan dan kesejahteraan
masyarakat papua lebih
baik.
Untuk saat ini Perdasus
belum mempunyai badan lembaga yang mengatur tentang pengalokasian dana otsus,
yang ada sampai saat ini hanya Peraturan
Gubernur. Pemerintah sudah mengalokasikan anggaran APBD dan telah mengalokasikan dana tambahan sesuai yang
diusulkan oleh provinsi yang tujuannya untuk pembiayaan pembangunan
infrastruktur.
3.
Perlindungan Hak Asasi Manusia (HAM)
Provinsi Papua
Masih banyak terjadinya pelanggaran yang terjadi
di Papua, masih adanya pemerkosaan, masih kurangnya penegakan hukum, masih
terjadinya kasus penyiksaan serta serangkaian kasus kekerasan yang masih kerap
terjadi tapi actor dan pelakunya tidak pernah terungkap, dan seringkali terjadi
penembakan terhadap warga sipil namun polisi tidak pernah bisa menangkap para
pelakunya.
G. FAKTOR-FAKTOR YANG
MEMPENGARUHI
1. Pembagian Kewenangan
Pemerintahan Provinsi Papua
Lambatnya penyusunan peraturan pelaksanaan Perdasi,
Perdasus, dan Peraturan Pemerinah karena Tim Asistensi Otonomi Papua, yang
anggotanya terdiri dari para Intelektual Papua tidak dilibatkan secara penuh
dan utuh dalam penyusunan rancangan peraturan pelaksanaan. Tanpa keterlibatan tim
ini, tidak hanya prosesnya menjadi lambat, tetapi juga dapat terjadi “missing
link” antara nilai dan norma dasar yang diatur dalam undang-undang Otonomi
Khusus.
2.
Pembagian
Dana Keuangan Provinsi Papua
a. Sejauh ini
pembagian dana Otsus hanya dilakukan berdasarkan kesepakatan Bupati atau Walikota
se-tanah Papua. Sementara pengelolaannya hanya didasarkan pada Permendagri
(terakhir Permendagri No. 59 Tahun 2006) yang dianggap tidak tepat sasaran.
b. Dalam struktur
APBD Papua sejak pemberlakuan Otsus juga tidak ditemukan kuota dana sebesar 30
persen untuk pendidikan dan 15 persen untuk kesehatan. Pembagian dana Otsus
yang besarnya 70 persen untuk Papua dan 30 persen untuk Papua Barat sejak tahun
2008 juga dilakukan dengan tanpa dasar hukum.
3.
Perlindungan Hak Asasi Manusia (HAM)
Provinsi Papua
Perlunya jalan dialog yang melibatkan
komponen-komponen di Papua dengan Pemerintah Pusat seperti yang pernah
dilakukan kepada Aceh. Perlunya jalan rekonsiliasi diantara pengadilan HAM dan pengungkapan
kebenaran kejahatan aparat keamanan negara terhadap orang Papua di masa lalu
demi penegakan hukum dan keadilan bagi Papua, terutama korban, keluarganya dan
warga Indonesia secara umum. Sebagai tindak lanjut dari hasil penelitian itu,
Muridan S. Widjojo bersama tokoh intelektual Papua, Dr.Neles Tebay lebih jauh
telah menggagas wacana Dialog Papua-Jakarta. Hanya saja, wacana dialog itu
sampai saat ini belum direspon positif oleh para pihak di Papua dan Jakarta.
H. SOLUSI
1) Pembagian Kewenangan
Pemerintahan Provinsi Papua
a. Perlu pengaturan yang jelas, mana yang diatur oleh
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang otonomi khusus dan mana yang diatur
Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah seperti
pengaturan bidang pendidikan, kesehatan, sosial dimana bidang-bidang tersebut
juga sudah ada Standar Pelayanan Minimal, dengan memperhatikan situasi dan
kondisi di Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat.
b. Perdasi-perdasus perlu lebih disosialisasikan oleh
pemerintah provinsi dan diikuti dengan upaya-upaya konkrit dari pemerintah
kabupaten/kota.
2. Pembagian Dana Keuangan Provinsi Papua
· Diperlukan perbaikan dalam manajemen keuangan
otonomi khusus mulai dari perencanaan, pelaksanaan, koordinasi, sampai pada
tahapan monitoring dan evaluasi sesuai dengan sistem pengelolaan keuangan
daerah dalam rangka penyelenggaraan otonomi khusus Provinsi Papua, untuk
terciptanya akuntabilatas dan transparansi pengelolaan dana otonomi khusus.
Diperlukan upaya perbaikan dalam mekanisme dan perhitungan pengalokasian dana
otonomi khusus Papua dengan lebih memperhatikan jumlah penduduk asli Papua dan
kondisi ketertinggalan di setiap kabupaten atau kota. Selain itu perlu adanya
perbaikan dalam mekanisme transfer dari pusat ke provinsi.
·
Peningkatan kapasitas yang berkesinambungan
terhadap sumber daya yang ada bukan hanya lembaga khusus tetapi juga seluruh
pemangku kepentingan yang terlibat dalam penyelenggaraan otonomi khusus Papua,
seperti halnya Anggota DPRP/DPRPB dan Aparatur Pemerintah Provinsi Papua.
· Pengelolaan dana otonomi khusus harus dilakukan
secara transparan melalui laporan pertanggungjawaban publik dengan demikian
fungsi kontrol akan berjalan efektif, sesuai dengan mekanisme yang berlaku
untuk pengelolaan keuangan daerah.
3. Perlindungan Hak Asasi
Manusia (HAM) Provinsi Papua
Ada dua
pendekatan yang perlu dilakukan dalam rangka penyelesaian secara tuntas dan
bermartabat masalah-masalah pelanggaran HAM di Provinsi Papua. Yang pertama
adalah mendirikan institusi penegakan hukum yang terkait dengan penyelesaian
pelanggaran HAM, seperti cabang dari Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (HAM)
dan Peradilan HAM. Yang kedua adalah dengan melakukan penelitian oleh suatu
badan independen tentang sejarah integerasi Papua ke dalam NKRI. Selain kedua
pendekatan tersebut, pendekatan nilai-nilai budaya masyarakat Papua juga dapat
digunakan untuk menyelesaikan masalah HAM ini.
BAB III
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
1.
Pembagian Kewenangan Pemerintahan Provinsi Papua
v
Tidak
adanya petunjuk pelaksanaan maupun petunjuk teknis mengakibatkan pelaksanaan
kewenangan khusus seperti Pendidikan, Kesehatan, Sosial, Ketenagakerjaan dan
Lingkungan Hidup yang berimplikasi kepada ketidakjelasan urusan-urusan yang
harus dikelola sebagai penjabaran kewenangan khusus tersebut dan seringkali
terjadi tumpang tindih pengelolaan kewenangan tersebut.
v
Belum
terbangunnya pola dan mekanisme kerja kewenangan antara ketiga institusi
strategis (DPRP atau DPRPB, Pemerintah Provinsi, dan MRP) mengakibatkan kinerjanya
yang tidak optimal, ketidakjelasan hubungan dan pola kerja di antara
lembaga-lembaga ini mengakibatkan munculnya “ konflik kepentingan ”.
v
Dalam lembaga khusus, DPRP tidak memiliki peran dan fungsi secara
langsung dalam mewujudkan perlindungan hak–hak asli orang Papua,
keterberpihakan kepada masyasarkat asli Papua diwujudkan ketika pembahasan dan
penetapan Peraturan Daerah Khusus (Perdasus) yang melibatkan hubungan kerja
antara DPRP, MRP dan Gubernur.
2.
Pembagian
Dana Keuangan Provinsi Papua
· Pengelolaan dana dalam rangka pelaksanaan otonomi khusus di Provinsi
Papua dalam prakteknya belum berjalan secara optimal.
·
Belum adanya acuan yang jelas dalam pengelolaaan dana otonomi khusus
tersebut, sehingga pemerintah kabupaten atau kota dalam pelaksanaannya
seringkali mengalami kebingungan dalam hal pengalokasiannya. Setelah
diterbitkannya Peraturan Gubernur yang mengatur pengelolaan dana otonomi
khusus, program dan kegiatan mulai lebih terarah pada sektor prioritas. Namun
keberadaan peraturan ini belum optimal dan masih dijumpai ketidaksesuaian
pengelolaan dana dengan prioritas otonomi khusus.
3.
Perlindungan Hak Asasi Manusia (HAM) Provinsi Papua
Untuk Hak Asasi
Manusia di Papua masih banyak terjadi pelanggaran, karena kurang pedulinya
pemerintah pusat terhadap masyarakat dan kurangnya hubungan antara pemerintah
dengan masyarakat sehingga timbul banyak pelanggaran Hak Asasi Manusia.
B.
SARAN
1. Pembagian Kewenangan
Pemerintahan Provinsi Papua
Untuk menjamin agar pelaksanaan Otonomi
Khusus Papua berjalan secara lancar khususnya dalam pelaksanaan kewenangan
pemerintah disarankan dilakukan komunikasi dan koordinasi internal maupun
eksternal dari semua pemangku kepentingan (Pemerintah, Pemerintah Provinsi,
DPRP/DPRPB, MRP Provinsi Papua/MRP Provinsi Papua Barat, Pemerintah
Kabupaten/Kota, DPRD Kabupaten/Kota) perlu ditingkatkan.
2. Pembagian Dana
Keuangan Provinsi Papua
Selama
ini penggunaan dana hanya dibagi berdasarkan kesepakatan bersama antara
provinsi dan daerah kabupaten/kota, hal inilah yang menimbulkan kerancuan dalam
pengalokasiannya kepada masyarakat dan juga dibutuhkan penyempurnaan berbagai
perdasus dan perdasi sehingga dapat lebih berpihak kepada masyarakat asli Papua
seperti Perdasi Kependudukan harus lebih menitik beratkan kepada pemberdayaan
penduduk asli Papua agar dapat memiliki kesempatan yang sama dengan pendatang dalam hal
pemenuhan lapangan pekerjaan.
3. Perlindungan Hak
Asasi manusia (HAM) Provinsi Papua
Pemerintah Pusat dan Pemerintah Propinsi perlu memberikan
kompensasi dan rehabilitasi kepada korban, keluarga korban, atau ahli waris
korban pelanggaran HAM di Tanah Papua menurut peraturan perundang-undangan yang
berlaku, termasuk dalam kebiasaan-kebiasaan yang berlaku dalam adat istiadat
suku-suku di Papua; dan Upaya untuk terus membuka pintu bagi dialog-dialog
dalam bentuk persuasif bukan dengan cara konfrontatif yang bertujuan meluruskan
sejarah politik Papua di masa lalu merupakan hal penting. Pelurusan sejarah ini
perlu dilakukan dalam rangka mencari kebenaran hakiki yang hingga kini terus
dipertanyakan banyak pihak di Tanah Papua. Pelaksanaan Otonomi Khusus harus
mampu mewadahi proses secara damai dan bermartabat, sekaligus mampu membangun
kerangka-kerangka dasar penyelesaian berbagai masalah terkait
KATA PENUTUP
Demikian makalah yang berjudul “ OTONOMI KHUSUS PAPUA ”,
yang telah kami susun dengan singkat dan jelas ini.
Apabila terdapat kesalahan dalam penyusunan maupun penulisan
makalah ini, kami mohon maaf yang sebesar – besarnya. Tak lupa kami ucapkan
terima kasih kepada semua pihak yang telah memberikan dukungan dalam proses
pembuatan makalah ini.
Akhirnya kami ucapkan terima kasih. Semoga makalah ini dapat
bermanfaat dalam kegiatan belajar mengajar pada umumnya, dan menambah ilmu
pengetahuan kita pada khususnya.
Surabaya, 28 Oktober 2013
Penyusun
DAFTAR PUSTAKA
6.
20130131073026.Evaluasi
Otsus Papua dan Papua Barat.pdf
MAKALAH KWN DAN
PANCASILA
“ OTONOMI KHUSUS
PAPUA “
KELOMPOK 1
DISUSUN OLEH :
1. HIMMATUL KHOIRO (13023011)
2. NUR CHITA UFITA (13023034)
3. WAHYU FAJAR (13023039)
4. RAFIKA R.W. (13023059)
5. ERIEN ISDAYANTI (13023069)
6. UUN KUMALA SARI (13023079)
7. WIDYANINGTYAS .R (13023090)
8. ARIF SHOFRI .K (13023108)
KELAS : AKUNTANSI A
UNIVERSITAS BHAYANGKARA
SURABAYA
TAHUN 2013-2014
KATA
PENGANTAR
Kami
panjatkan puji syukur kehadirat ALLAH SWT yang telah memberikan rahmat dan
hidayah-Nya sejak awal melakukan analisa dan proses pembuatan hingga selesainya
makalah ini.
Makalah
ini berisi tentang “OTONOMI KHUSUS PAPUA ”. Makalah ini menyajikan
pengetahuan secara kontektual dan menampilkan berbagai hasil analisa pemberian
otonomi khusus papua, sehingga pembelajaran akan memiliki motivasi untuk
terbiasa berfikir kreatif dan terampil.
Kami
juga ingin mengucapkan terima kasih kepada dosen pembimbing yang telah
memberikan pengantar pembelajaran otnomi khusus serta dukungan dalam
menyelesaikan makalah ini.
Akhirnya
dengan kerendahan hati kami membuk diri dari segala bentuk tegur sapa, saran,
dan pendapat demi perbaikan dan kesempurnaan makalah ini. Semoga bermanfaat
bagi kita semua.
Surabaya, 28 Oktober 2013
Penyusun
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR................................................................................................. i
DAFTAR ISI............................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang ............................................................................................... 1
B.
Rumusan Masalah........................................................................................... 3
C.
Tujuan ........................................................................................................... 3
BAB
II PEMBAHASAN
A. Pengertian Otonomi Khusus
Papua..................................................................
4
B. Permasalahan Yang
Melatarbelakangi Otonomi Khusus Papua......................... 5
C. Landasan Otonomi Khusus
Papua .................................................................. 6
D. Kebijakan Otonomi Khusus
Papua ................................................................. 8
E. Pelaksanaan Otonomi Khusus
Papua
·
Pembagian Kewenangan Pemerintah
Prov.Papua .................................... 9
·
Pembagian Dana Keuangan Prov.Papua
................................................ 10
·
Perlindungan Hak Asasi dan Rekonsiliasi
Papua ..................................... 11
F. Analisa Otonomi Khusus
Papua
·
Pembagian Kewenangan Pemerintah
Prov.Papua ................................... 12
·
Pembagian Dana Keuangan Prov.Papua ................................................ 15
·
Perlindungan Hak Asasi dan Rekonsiliasi
Papua ..................................... 18
G. Faktor-Faktor Yang
Mempengaruhi
·
Pembagian Kewenangan Pemerintah
Prov.Papua ................................... 20
·
Pembagian Dana Keuangan Prov.Papua
................................................ 20
·
Perlindungan Hak Asasi dan Rekonsiliasi
Papua ..................................... 20
H. Solusi
·
Pembagian Kewenangan Pemerintah Prov.Papua
................................... 21
·
Pembagian Dana Keuangan Prov.Papua ................................................ 21
·
Perlindungan HakAsasi dan Rekonsiliasi
Papua ...................................... 22
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan
·
Pembagian Kewenangan Pemerintah Prov.Papua
................................... 23
·
Pembagian Dana Keuangan Prov.Papua ................................................ 23
·
Perlindungan HakAsasi dan Rekonsiliasi
Papua ...................................... 24
B. Saran
·
Pembagian Kewenangan Pemerintah Prov.Papua
................................... 24
·
Pembagian Dana Keuangan Prov.Papua
................................................ 25
·
Perlindungan HakAsasi dan Rekonsiliasi
Papua ...................................... 25
KATA PENUTUP .................................................................................................... 27
DAFTAR
PUSTAKA................................................................................................ 28
makasi kak. bermanfaat banget.
BalasHapus